Jakarta (15/7). Ilmu falak atau lebih dikenal dengan istilah ilmu hisab merupakan ilmu yang mempelajari lintasan benda-benda langit. Ilmu falak juga disebut sebagai astronomi, untuk mengetahui posisi dan kedudukan benda langit yang satu dengan benda langit lainnya.
Dalam rangka memberikan wawasan mengenai ilmu hisab, DPP LDII bekerja sama dengan Kementerian Agama mengadakan pelatihan dasar ilmu hisab pada Kamis (15/7) secara daring. Perhelatan itu menghadirkan narasumber pakar astronomi dari Tim Unifikasi Kalender Hijriyah Kementerian Agama, Cecep Nurwendaya.
Dalam pembukaan acara, Ketua Umum DPP LDII KH. Chriswanto Santoso mengatakan pelatihan ini sangat penting dan harus diadakan. Hisab dan rukyat dalam agama disebut ibadah, “Ini dibuktikan dengan adanya doa yang menyertai ketika melihat hilal dalam penentuan awal bulan. Ini memang sesuatu yang ibadah, karena menentukan proses-proses dan keabsahan ibadah wajib lainya. Mulai puasa, Idul Fitri, Idul Adha, dan lain sebagainya,” ujarnya.
Meskipun saat ini teknologi sangat maju, apalagi dengan digitalisasi, menurut Chriswanto sangat memungkinkan semua orang bisa mengakses software maupun aplikasi untuk menghitung hisab pada lokasi tertentu. “Namun yang diingat, jika kita tidak memahami konsep atau ruhnya, menjadi kurang lengkap dan sempurna,” imbuhnya.
Di Indonesia kerap terjadi perselisihan penentuan awal Bulan Syawal dan Ramadan. Ini bisa menyebabkan ketidakrukunan antar umat Islam. “Padahal menjaga ukhuwah Islamiyah, kerukunan dan kekompakan hukumnya wajib. Oleh karena itu, dengan pelatihan ini sudah tidak ada lagi perselisihan untuk menentukan tanggal 1 Hijriah,” tuturnya.
Pelatihan ini memberi landasan dasar dalam memahami ilmu hisab rukyat. Sehingga ada penyamaan persepsi antar umat Islam yang akan mengurangi perbedaan dan friksi yang tidak perlu dalam urusan keagamaan. “Bagi seorang muslim, perselisihan di antara elit dan beberapa golongan bisa menjadikan cermin yang tidak baik bagi umat,” ujarnya.
LDII menyelenggarakan pelatihan hisab rukyat, ingin memberikan pemahaman dasar kepada masyarakat umum dan warga LDII, sehingga bisa memahami penentuan pergantian bulan untuk tujuan ibadah. “Kita bisa menyamakan persepsi dan memahami perbedaan. Kita juga meyakini, berdasarkan ilmu yang dipahami. Dengan demikian kita dapat menentukan pelaksanaan awal bulan yang berkaitan dengan ibadah sesuai dengan ilmu,” jelasnya.
Acara ini diikuti seluruh anggota DPW dan DPD LDII serta Pondok Pesantren binaan LDII di seluruh wilayah Indonesia. “Diklat diikuti 910 peserta secara daring. Peserta webinar berasal dari DPW-DPD LDII se-Indonesia terutama Biro Pendidikan Keagamaan dan Dakwah. Lalu peserta dari unsur pondok pesantren di lingkungan LDII,” papar Ketua DPP LDII Teddy Suratmadji.
Teddy mengatakan, pelatihan ini merupakan program Departemen Pendidikan Keagamaan dan Dakwah DPP LDII. “Pelatihan pertama, sudah kami laksanakan pada tahun 2013, hingga 8 tahun kemudian tepatnya saat ini tahun 2021 diadakan pelatihan yang kedua. Materi kali ini dengan peserta yang besar dan komprehensif,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Pakar astronomi dari Tim Unifikasi Kalender Hijriyah Kementerian Agama, Cecep Nurwendaya menjelaskan mengenai alasan tanggal 1 Hijriah dapat berbeda-beda dalam beberapa tahun.
“Sebetulnya, untuk menentukan tanggal 1 Hijriah tidak akan berbeda. Yang menjadi perbedaan, tergantung seseorang menggunakan metode hisab (perhitungan aritmatika astronomis) atau rukyat (observasi astronomis),” ujarnya.
Cecep memaparkan data posisi hilal menjelang awal bulan Hijriah menunjukkan angka minus 5,6. “Semua wilayah Indonesia memiliki ketinggian hilal negatif antara minus 5,6 sampai dengan minus 4,4 derajat. Hilal terbenam terlebih dahulu dibanding matahari,” paparnya.
Menurut Cecep, penetapan awal bulan Hijriyah didasarkan pada rukyat dan hisab. Proses hisab sudah ada dan dilakukan oleh hampir semua ormas Islam. “Saat ini, semua ormas Islam melakukan proses rukyat,” terang Cecep.
Cecep menjelaskan, berdasarkan sidang Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) kriteria imkanurrukyat disepakati adalah minimal tinggi hilal dua derajat, elongasi minimal 3 derajat, dan umur bulan minimal delapan jam setelah terjadi ijtima’.
Sehubungan itu, kata Cecep, karena ketinggian hilal di bawah dua derajat bahkan minus maka tidak ada referensi pelaporan hilal — jika hilal awal bulan Hijriah teramati di wilayah Indonesia. “Selain itu, juga tidak ada referensi empirik visibilitas hilal jika hilal teramati di wilayah Indonesia,” ujarnya.
Menurut Cecep, Limit Danjon menyebutkan bahwa hilal akan tampak jika jarak sudut bulan – matahari lebih besar dari 7 derajat, “Konferensi penyatuan awal bulan Hijriyah International di Istanbul tahun 1978 mengatakan bahwa awal bulan dimulai jika jarak busur antara bulan dan matahari lebih besar dari 8 derajat dan tinggi bulan dari ufuk pada saat matahari tenggelam lebih besar dari 5 derajat,” paparnya.
Sementara rekor pengamatan bulan sabit dalam catatan astronomi modern adalah hilal awal Ramadan 1427 H, di mana umur hilal 13 jam 15 menit dan berhasil dipotret dengan teleskop dan kamera CCD di Jerman.
“Bahkan, dalam catatan astronomi modern, jarak hilal terdekat yang pernah terlihat adalah sekitar 8 derajat dengan umur hilal 13 jam 28 menit. Hilal ini berhasil diamati oleh Robert Victor di Amerika Serikat pada 5 Mei 1989 dengan menggunakan alat bantu binokuler atau keker,” ujarnya.