Nganjuk (10/5). Anies Baswedan menghelat silaturahim Ramadan pada April lalu di Jawa Timur. Saat berada di Kabupaten Jombang, ia menyempatkan diri mengunjungi Habib Ubaidillah Al Hasany pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al Ubaidah, Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur, pada Kamis (13/4).
Kehadiran Anies disambut oleh Habib Ubaidillah dan para pengurus Ponpes Al Ubaidah, “Pak Anies merupakan dosen yang memiliki pengalaman di bidang politik dan pemerintahan, bahkan sejak masih sekolah dan kuliah. Untuk itu kami meminta Pak Anies untuk memberi tausiyah kepada para santri,” ujar Habib Ubaidillah.
Usai ramah-tamah, Anies menyempatkan tausiyah di depan sekitar 900-an calon juru dakwah LDII di ponpes itu. Pada kesempatan itu, ia menjelaskan mulianya menjadi guru atau muballigh-muballighoh.
“Menjadi mubaligh-mubalighot itu sama seperti pemimpin, mendidik sama dengan memimpin, memimpin sama dengan mendidik. Setiap pendidik itu pemimpin, setiap pemimpin itu pendidik,” ujarnya.
Menurutnya, jangan dipisahkan antara pendidik dan pemimpin karena sesungguhnya setiap kepemimpinan adalah tentang pendidikan. “Bagi adik-adik saat bertugas di berbagai daerah lihatlah masyarakat, lihatlah umat ataupun peserta didik yang diajar itu seperti orang yang dipimpin,” tambahnya.
Ia berpandangan, pemimpin itu hadir di antara kita karena ada orang-orang yang dengan ikhlas mematuhinya, “Maka pemimpin harus kapabel, jujur, berintegritas, dan mampu mengemban amanah,” kata Anies yang pernah menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Anies lalu mengajak para santri mengingat guru-guru mereka saat masih SD, SMP, atau SMA. Dari sekian banyak guru itu, para santri hanya hafal beberapa nama gurunya.
“Mengapa? Mereka yang diingat itu biasanya ada dua faktor yaitu menginspirasi dan menyebalkan. Dan yang biasa-biasa saja akan terlupakan. Untuk itu, adik-adik yang akan menjadi dai-daiyah ataupun mubaligh-mubalighot tinggal memilih, mau yang selalu ingat atau yang dilupakan,” tambah mantan Rektor Universitas Paramadina Jakarta itu.
Ia mengajak para santri Ponpes Al Ubaidah Kertosono untuk menjadi santri teladan. Sehingga ketika turun berdakwah di masyarakat dapat menjadi penggerak umat.
“Maka jadilah muballigh-mubalighoh yang menginspirasi. Yang saat ini hilang dalam percakapan adalah inspirasi. Kalau diurutkan, mengajar, mendidik, menginspirasi dan menggerakkan,” ungkapnya.
Ia berpesan, bagi calon dai-daiyah yang sedang menimpa pendidikan di pondok pesantren yang bernaung di bawah LDII itu untuk menjadi penggerak umat. Menurutnya, menjadi penggerak adalah tahapan tertinggi bagi seorang pengajar.
“Saya berpesan, jadi muballigh-muballighoh yang bisa menggerakkan. Untuk bisa menggerakkan harus bisa menginspirasi, untuk bisa menginspirasi harus bisa mendidik, untuk bisa mendidik harus bisa mengajar,” tutupnya.